JURNALPOLRI.MY.ID, Bali – Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Restuardy Daud, menegaskan pentingnya percepatan akses air minum aman dalam acara pembukaan program pelatihan peningkatan kapasitas BUMD dan Pemda di Bali, Rabu (4/9/2024). Dalam sambutannya, ia membeberkan tantangan besar yang masih menghambat pencapaian target nasional.
“Target kita jelas, 100% akses air minum aman di 2024. Tapi sampai 2023, kita baru capai 91,72%. Kalau tren ini nggak dipercepat, kita cuma bakal sampai di 92,19% di akhir 2024,” ungkap Restuardy. Menurutnya, kesenjangan 7,81% ini bukan hal yang bisa dianggap remeh. “Butuh kerja keras dan strategi baru untuk tutup gap ini,” tegasnya.
Restuardy juga mengkritisi perencanaan dan penganggaran di level daerah yang masih jauh dari optimal. Ia menunjukkan adanya perbedaan besar antara Rencana Kerja Daerah (RKPD) dan alokasi dana di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk air minum. “Gap-nya besar banget, 42,7% di 2021, turun jadi 35,3% di 2022, dan sekarang 22,3% di 2023. Ini harus dibenahi!” katanya.
Anggaran Menyusut, Tantangan Menggila
Lebih lanjut, Restuardy juga menyoroti penurunan anggaran daerah untuk pengelolaan air minum. “Tahun 2022, anggaran untuk manajemen air minum di APBD ada di angka Rp 7,3 triliun, tapi di 2023 malah turun jadi Rp 6,4 triliun,” ujarnya. Ia menegaskan, fluktuasi ini bikin target jadi makin sulit dicapai.
Menurut data yang disampaikan, pembiayaan untuk Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) sangat berfluktuasi. “Dari RKPD, cuma 73,46% yang bisa dibiayai APBD di 2021, turun drastis jadi 35,50% di 2022, dan naik sedikit ke 50,51% di 2023. Harus ada solusi biar anggaran lebih stabil,” jelas Restuardy.
Proyeksi Kebutuhan dan Kerja Sama dengan Pihak Ketiga
Restuardy juga mengungkapkan proyeksi kebutuhan pembiayaan publik dan non-publik untuk air minum hingga tahun 2034. Menurutnya, program NUWSP saja memerlukan dana sekitar Rp 44 triliun hingga 2029 dan Rp 47 triliun hingga 2034. “Ini angka besar, nggak bisa cuma mengandalkan APBD,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya kerja sama dengan pihak ketiga untuk menjembatani kesenjangan pembiayaan tersebut. “Kerja sama dengan pihak ketiga punya kontribusi terbesar, 69,7% dari total kebutuhan pembiayaan. Tanpa ini, susah banget buat nutup gap,” tambah Restuardy.
Langkah Konkret untuk Atasi Kesenjangan
Di akhir sambutannya, Restuardy menekankan pentingnya mobilisasi berbagai sumber pembiayaan untuk mencapai target air minum aman. “Kita harus manfaatin semua potensi yang ada, mulai dari CSR, hibah, kerjasama regional, dana desa, sampai kemitraan publik-swasta,” tuturnya. Menurutnya, semua pihak harus ikut bergerak kalau ingin target tercapai.
Restuardy berharap, kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, dan pihak ketiga bisa mempercepat pencapaian akses air minum aman bagi seluruh masyarakat Indonesia. “Kita nggak bisa jalan sendiri-sendiri. Ini harus kerja bareng,” pungkasnya dengan tegas.
Dengan demikian, pelatihan ini diharapkan bukan sekadar acara seremonial, tapi langkah konkret untuk menyelaraskan upaya seluruh pihak terkait dalam mewujudkan akses air bersih yang aman dan terjangkau untuk semua. “Kita harus pastikan, air bersih bukan cuma mimpi,” tutupnya. (*)