Jakarta, JURNALPOLRI.MY.ID – Dr. Yanuar Luqman, M.Si., Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, tampil sebagai pembicara utama dalam diskusi panel Rakernis Humas Polri 2025 yang digelar di Jakarta.
Acara ini mempertemukan para praktisi dan akademisi guna membahas strategi komunikasi publik Polri di era digital.
Dalam paparannya, Dr. Yanuar menegaskan bahwa Humas Polri harus meninggalkan pendekatan reaktif dan mulai membangun narasi strategis berbasis data.
Menurutnya, citra Polri hanya akan terbentuk kuat jika komunikasi institusional dikelola secara proaktif, terencana, dan adaptif terhadap dinamika informasi.
“Humas itu tugasnya bukan seperti pemadam kebakaran. Jangan tunggu viral dulu baru klarifikasi. Bangun narasi yang proaktif, dan itu harus berbasis data, supaya tidak bisa dipatahkan,” tegasnya, Selasa (6/5/2025).
Ia juga menyinggung fenomena krisis framing yang sering kali terjadi akibat keterlambatan klarifikasi dari institusi, sementara informasi negatif lebih cepat menyebar di media sosial.
Dalam simulasi menggunakan teknologi AI, seperti ChatGPT, Dr. Yanuar menjelaskan bahwa meskipun ada persepsi negatif terhadap polisi, namun sebagian besar top of mind masyarakat justru masih positif.
“Saya coba tanya ChatGPT tentang persepsi publik terhadap polisi. Dari 10 jawaban yang muncul, hanya tiga yang bernada negatif. Ini menunjukkan ruang untuk membangun narasi positif masih sangat besar,” jelasnya.
Dalam sesi tersebut, ia juga mengapresiasi inisiatif-inisiatif lokal seperti tokoh masyarakat di Lamongan bernama Pak Purnomo yang aktif dalam kegiatan sosial, dan menurutnya model seperti itu bisa diadopsi oleh jajaran Polri hingga ke tingkat Polsek.
“Kalau tokoh-tokoh seperti Pak Purnomo di Lamongan bisa mengayomi masyarakat bahkan yang terlantar sekalipun, kenapa tidak itu ditiru di Polsek atau Polres? Kampanye-kampanye positif seperti ini akan berdampak pada citra institusi secara keseluruhan,” kata Yanuar.
Di akhir sesi, Dr. Yanuar menegaskan bahwa masa depan komunikasi publik Polri terletak pada sinergi yang tulus antara Humas, media, akademisi, dan masyarakat.
Bagi beliau, membangun kepercayaan publik bukan sekadar tugas teknis, melainkan panggilan nurani untuk menjaga wajah Polri di tengah gelombang disinformasi. Sebuah pesan yang membekas, bukan hanya di ruang diskusi, tapi juga di hati setiap pendengar. (*)